Sabtu, 09 Mei 2009

Penguasaan Lingkungan Bisnis Yang Tidak Pasti Dengan Pendekatan Manager Abad 21





ABSTRAK

Sebuah organisasi yang diberikan bukan pada ahlinya maka organisasi itu akan redup dan mati dengan sendirinya. Untuk itu di tengah tuntutan abad 21 yang makin kompetitif kita membutuhkan manager yang mengetahui medan tepur lingkungan bisnis yang tidak pasti. Lingkungan bisnis masa depan adalah lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Hal ini menyebabkan tingkat ketidakpastian dan ketidakefektifan rencana strategis

perusahaan meningkat. Dalam kaitan ini kunci kepemimpinan mendatang adalah

kepemimpinan bervisi ke depan. Visi itu sendiri diperlukan sebagai pemicu

perubahan ke arah yang lebih baik, sehingga dapat mengendalikan perusahaan di

tengah-tengah gejolak lingkungan bisnis yang tidak pasti.



PENDAHULUAN

Setiap kemampuan dalam kepemimpinan harus melekat erat pada seorang manajer, apapun ruang lingkup dan tanggung jawabnya. Karena, tanpa kemampuan memimpin, lebih-lebih dalam hal manajemen sumber daya manusia, tidak mungkkin seorang manajer berhasil baik dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Sikap dan gaya serta perilaku kepemimpinan manajer sangat besar pengaruhnya terhadap organisasi yang dipimpinnya, bahkan dapat berpengaruh terhadap produktivitas organisasi perusahaan. Kepemimpinan harus melekat pada seorang manajer karena pada dasarnya, memang kepemimpinan tersebut merupakan inti daripada manajemen. Sedangkan, inti dari kepemimpinan itu sendiri adalah “human-relations” atau “hubungan antara manusia”. Sehingga dengan demikian, maka baik-buruknya manajemen, tergantung pada baikburuknya kepemimpinan. Sedangkan baik-buruknya kepemimpinan tersebut amat tergantung kepada baik-buruknya “human-relations” daripada diri pemimpin-pemimpin ataupun manajer-manajer yang menjalankan kepemimpinan tersebut sendiri. Oleh karena itulah, antara pemimpin dan kepemimpinan perlu pembahasan tersendiri, yang jelas mempunyai kaitan erat dengan berhasil-tidaknya manajemen. Kepemimpinan nyata sekali merupakan motor penting bagi sumber-sumber dan alat-alat suatu organisasi. Demikian pentingnya peranan kepemimpinan dalam usaha mencapai tujuan suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh mutu kepemimpinan yang dimiliki oleh orangorang yang diserahi tugas memimpin dalam organisasi yang bersangkutan. Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang tidak melaksanakan sendiri tindakan yang bersifat operasional, tetapi mengambil keputusan, menentukan kebijaksanaan dan menyerahkan kepada orang lain untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil sesuai dengan kebijaksanaan yang telah digariskan.

PENGERTIAN PEMIMPIN

Suatu organisasi dengan sumber daya manusianya yang makin luas pandangannya, makin tinggi kemampuannya dan semakin kritis terhadap situasi lingkungan, benar-benar rumit. Untuk itu diperlukan suatu pembagian tugas yang tepat dan jelas, sehingga dalam tujuan organisasi, benar-benar tercermin adanya keterkaitan yang harmonis antara bagianbagian organisasi. Masing-masing bagian harus mengetahui dengan penuh pengertian dan kesadaran, bahwa aktivitas bagian tersebut merupakan bagian dari aktivitas organisasi keseluruhan. Hal itu hanya mungkin apabila masing-masing bagian dalam organisasi tersebut ditangani oleh manajer-manajer yang memiliki kualifikasi kepemimpinan yang tepat sesuai dengan yang diperlukan, atau dengan kata lain, oleh manajer-manajer yang berperilaku sebagai pemimpin-pemimpin. Makin tinggi tingkatnya, makin tinggi pula persyaratan bagi pemimpin yang bersangkutan. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok. Diharapkan seorang manajer adalah seorang pemimpin, namun seorang pemimpin belum tentu menjadi seorang manajer. Hal itu perlu benar-benar dipahami sehingga tidak begitu saja disamakan antara “pemimpin” dan “manajer”. Dapat saja terjadi seorang manajer berperilaku sebagai seorang pimpinan, asalkan dia mampu mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian belum tentu seorang pemimpin juga menjadi seorang manajer sebab seorang manajer melaksanakan fungsinya dalam kaitan suatu birokrasi, yang dibatasi oleh aturan-aturan birokrasi, sedangkan seorang pimpinan tidak perlu dibatasi oleh aturan-aturan birokrasi.

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN

Apa yang dimaksudkan dengan istilah “kepemimpinan”? Karena kepemimpinan itu adalah inti daripada manajemen, sedangkan inti kepemimpinan adalah “human relations”, maka kepemimpinan dapat diberi definisi sebagai berikut: “keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang memang diinginkan bersama”. Kepemimpinan yang baik perlu dikembangkan dan dipelihara sebaik-baiknya, karena manajemen yang berhasil bergantung pada adanya kepemimpinan yang baik.

PEMIMPIN ABAD 21

Mutu kepemimpinan, mutu sumber daya manusia, dan mutu jalinan mitra kerja adalah tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin di masa-masa mendatang. Pemimpin puncak akan menghadapi tiga tantangan yang tidak ada kaitan dengan harta perusahaan, yaitu mutu kepemimpinan, mutu sumber daya manusia, dan mutu jalinan mitra kerja. Pemimpin yang benar akan mengembangkan kepemimpinan yang terpencar dan beragam. Kepemimpinan harus dibagi agar kekuatan tanggung jawab bersama mencuat. Pemimpin membangun sumber daya manusia, tim, dan staf yang mencerminkan

banyaknya ragam masyarakat dan lingkungan, hingga para pelanggan dan mereka yang terkait akan menyadari sendiri saat mereka melihat organisasi yang sangat aneka ragam di masa depan. Pemimpin yang benar akan mempertahankan visi masa depan organisasi dan dengan setengah memaksa mengobarkan semangat yang dibutuhkan untuk membangun perusahaan. Pemimpin memobilisasi orang-orang di sekitar misi organisasi, memantapkan suatu kekuatan dalam masa depan yang tidak menentu di masa depan. Makna sosial terpenting dari pemimpin masa depan adalah cara mereka menghayati totalitas kepemimpinan, tidak sekadar memasukkan “organisasi saya” tetapi juga menjangkau ke luar dinding organisasi. Pemimpin yang bijaksana akan merangkul semua yang terlibat dalam lingkaran yang mengitari perusahaan, organisasi, orang, dan masyarakat.

Pemimpin Efektif

Menurut Suhardi (1983), orang yang ingin mencapai mutu sebagai pemimpin efektif di abad 21 harus memiliki sifat dan sikap STAF (Sidiq atau jujur; Tabligh atau berani menyampaikan kebenaran, termasuk kepada diri sendiri; Amanah atau terpercaya; dan Fatonah atau tidak gampang berubah pendirian). Selain itu, mereka juga harus menjalankan enam program penting, yaitu: 1. Selalu memberi peringatan/mengingatkan diri sendiri, dan orang lain, agar bangkit dengan sempurna, penuh semangat, dan percaya diri untuk melaksanakan tugas dan kewajiban demi tujuan jangka panjang. Dengan kata lain, pemimpin efektif harus memiliki visi dan misi yang jelas. 2. Selalu mengagungkan kebesaran Tuhan. Ini adalah motto seorang pemimpin efektif. Motto ini akan tercermin dalam setiap perkataan, sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil, sehingga seorang pemimpin akan merasa lebih kuat dan mampu menghadapi tantangan, karena telah menyerahkan diri sepenuhnya ke tangan-Nya. 3. Pemimpin efektif harus membersihkan hati, jiwa, pikiran, tubuh, sikap, tindakan, ucapan, dan budi pekertinya. 4. Pemimpin efektif adalah orang yang berani meninggalkan berhala yang selama ini disembahnya. 5. Pemimpin efektif melakukan tugas dan tanggung jawabnya tanpa pamrih. 6. Pemimpin efektif adalah orang yang tahu diri dan bisa bersabar. Seorang pemimpin yang efektif membawa kelompok dari keadaan nyata ke kondisi ideal. Karena itu, mereka di atas lingkungan, bukan hanyut terbawa arus kecenderungan umum.

Watak Pemimpin

Ada beberapa karakteristik watak abad 21, yaitu:

1. Kejujuran

2. Keadilan

3. Pemahaman diri

4. Spiritualitas yang non-dogmatis

5. Kerja sedikit tetapi hasil banyak

6. Mengakui kelebihan orang lain

7. Naluri humor

8. Visi yang terjangkau dan fokus yang jelas

9. Disiplin yang tidak biasa

10. Keseimbangan

Atribut Pemimpin

Handy (1996) memberikan petunjuk mengenai atribut yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin masa depan. Ada tiga atribut yang perlu dimiliki oleh pemimpin agar

ia memperoleh wewenang dari pengikutnya:

1. Pemimpin perlu memiliki keyakinan diri yang kuat, namun harus diimbangi dengan

kemampuan untuk mempertanyakan kembali keyakinannya tersebut.

2. Pemimpin perlu memiliki kegairahan terhadap pekerjaannya, namun harus diimbangi

dengan kesadaran terhadap dunia lain.

3. Pemimpin perlu mencintai orang, namun harus diimbangi dengan keberanian untuk

berjalan dalam kesendirian.

Kepimimpinan yang Memiliki Visi ke Depan (Visionary Leadership)

Visi dapat dipelajari, dibentuk dan dikembangkan dan menjadi sangat penting untuk menentukan arah perusahaan di masa yang akan dating. Visi merupakan perpaduan antara pemikiran analitis intuitif didasarkan pada cara pandang yang baru terhadap lingkungan yang terus berubah dan membayangkan pencapaian tujuan organisasi jauh ke depan. Melalui cara ini akan membantu menciptakan ide-ide baru bisnis. Menurut Hammel dan Prahalad (1994) pemikiran analitis dan intuitif akan memberi ruang gerak dalam meraih pangsa peluang (opportunity share) di masa depan. Visi perlu diterjemahkan de dalam perusahaan guna meningkatkan kinerja bisnis. Bila visi bersumber dari manajemen puncak, maka penyebaran visi dapat dijembatani melalui penciptaan tim yang menangani implementasi visi (Galpin, 1996) atau melalui Middle- Up-down Management (Nonaka, 1995). Visi top, middle, dan lower management perlu diwadahi, dikomunikasikan, dan disosialisasikan menjadi satu visi dari seluruh organisasi. Untuk itu, dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki visi (visionary leadership) yang dapat mengerahkan komitmen perubahan visi diagnosis permasalahan bisnis, berbagi visi tentang bagaimana mengatur dan mengelola perusahaan demi persaingan, mendorong konsensus terhadap visi baru, memperluas revitalisasi pada seluruh departemen, pelembagaan perubahan melalui kebijakan formal, memonitor dan memperbaiki strategistrategi dalam merespon permasalahan.

Ciri-ciri dari visionary leadership adalah sebagai berikut (Aditiawan, 1997):

1. Focused leadership

Para pemimpin yang efektif berfokus pada beberapa visi utama. Oleh karena lingkungan bisnis sudah demikian kompleks dan mengglobal, dalam melakukan perubahan manajemen di lingkungan perusahaan dapat difokuskan pada aspek strategi, operasi, budaya dan kompensasi.

2. Interpersonal skill

Keahlian perlu dikomunikasikan untuk memperoleh masukan dari pihak lain demi

pengembangan keahlian dan dapat memberi manfaat bagi kemajuan bersama. Yang perlu dihindari adalah pemanfaatan keahlian untuk keuntungan diri sendiri dengan merugikan kepentingan perusahaan atau orang lain. Perilaku ini disebut opportunity behavior yang berimplikasi pada meningkatnya biaya transaksi sehingga perusahaan menjadi kurang kompetitif.

3. Trustworthiness

Pemimpin dapat mengambil posisi yang jelas dan berupaya menghindari keengganan, penolakan dan kejutan masa depan yang mengarah pada perilaku disfungsional sehingga berakibat terhadap rendahnya kinerja karyawan dalam perusahaan guna menggapai visi perubahan.

4. Respect for self and others

Pemimpin memiliki perhatian yang mendalam terhadap diri sendiri dan mereka yang dipimpin. Pemimpin yang visionary tidak cukup memiliki visi dan misi tetapi dalam mengoperasikan visi ia sungguh merasakan dan memahami kesulitan dan keinginan karyawannya. Salah satu caranya adalah memahami mereka secara empati.

5. Risk-taking

Pemimpin yang memiliki visi disyaratkan berani mengambil risiko dalam upaya menciptakan perubahan bisnis. Berarti semua hambatan peningkatan kinerja, pelayanan pada pelanggan dan status quo perlu dibongkar.

6. Bottom-line leadership

Pemimpin perlu memiliki kepercayaan diri dan yakin bahwa para karyawan di tingkat bawah dapat tampil beda berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam visi

bersama perusahaan.

7. Empowered leadership

Para pemimpin dapat memberdayakan yang lain dengan membuka ruang yang lebih luas bagi perbedaan pendapat menuju kesatuan visi.

8. Long-term vision

Visi kepemimpinan yang dibangun hendaknya menembus jangkauan waktu jauh ke depan melalui pemikiran analitis dan intuitif terhadap gejala-gejala yang terjadi di

depan.

9. Organization leadership

Kepempinan yang bervisi ke depan akan dapat membawa organisasi ke arah

perubahan.

10. Cultural leadership

Kepemimpin yang visionary dapat menciptakan, menyampaikan dengan jelas, dan berbagi visi dan nilai-nilai. Di samping itu, kepemimpinan seperti ini harus mampu dalam mengelola karyawannya yang multi-budaya. Di dalam mengembangkan visi reflektif, intuitif dan integrative setidaknya mengikuti sembilan langkah (Bennis, 1994) yaitu:

1. Perubahan lingkungan dan pandangan baru terhadap lingkungan sekitarnya.

2. Visi reflektif perorangan.

3. Berbagi visi reflektif.

4. Visi intuitif perorangan yang didasari peningkatan intuisi, dan penerapan intuisi bagi

pengembangan visi.

5. Berbagi visi intuitif.

6. Visi yang terintegrasi berdasarkan berbagi visi reflektif dan intuitif.

7. Rencana tindakan.

8. Mengevaluasi rencana tindakan sebagai umpan balik bagi visi integrative dan realita

masa kini.

Kata kunci kepemimpinan mendatang adalah kepemimpinan bervisi ke depan. Visi itu sendiri diperlukan sebagai pemicu perubahan ke arah yang lebih baik, serta harus mampu merumuskan, mengkomunikasikan, dan menyebarkan visi agar bisa diterima oleh seluruh organisasi. Secara lebih sederhana, kata kunci yang perlu dicatat dalam konsep kepemimpinan di masa yang akan datang adalah kemauan dan kemampuan untuk suatu perubahan dalam merealisasikan visi (cita-cita dan mimpi indah). Pemimpin yang bagaimanakah yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan pada abad 21? Untuk menjawab itu, ciri-ciri abad 21 harus diperhatikan (Aditiawan, 1997):

1. Persaingan yang semakin ketat, di mana dalam hal ini perusahaan yang tidak berusaha untuk meningkatkan mutu produk dan sumber daya manusianya akan semakin tertinggal.

2. Ketidakpastian, yang pada masa depan akan seringkali menimbulkan kecemasan dan ketegangan, bahkan dapat pula menciptakan disorientasi. Kondisi ini dapat menggangu kesehatan sebuah organisasi bahkan organisasi yang sebenarnya mempunyai mutu sumber daya manusia yang memadai. Dalam hal ini peranan seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan untuk mengatur sumber daya yang ada.

3. Perubahan, yang senantiasa terjadi di dunia. Salah satu kekuatan yang menyebabkan perubahan adalah lingkungan organisasi. Perubahan lingkungan organisasi itu sendiri merupakan akibat dari peningkatan efektivitas teknologi informasi dan transportasi. Selain itu juga terdapat perubahan-perubahan dalam proses organisasi seperti dalam pengambilan keputusan, distribusi informasi, pemilikan informasi dan sebagainya. Untuk menghadapi masalah-masalah di atas, maka dibutuhkan seorang pemimpin yang bervisi. Dengan visi seorang pemimpin dapat memberikan petunjuk mengenai ke mana orang-orang yang dipimpinnya harus melangkah. Dengan demikian semua tindakan yang dilakukan anggota-anggota organisasi haruslah merupakan cerminan atau turunan dari visi tersebut (Robbins, 1997). Pemimpin masa depan harus peka terhadap hubungan perseorangan, dengan lebih memberikan perhatian pada perlakuan masing-masing orang di unit organisasi, sekaligus memberikan bimbingan dan nasehat. Apabila perusahaan ingin merangsang budaya kerja yang innovatif, penilaian kinerja dan memotivasi pegawai professional tidak dapat lagi hanya dengan menekankan pada tanggung jawab dan deviasi dari target maupun standard kinerja. Yang jelas, seorang pemimpin yang visionary perlu memiliki keahlian dalam memimpin tim organisasi yang terdiri dari para tenaga profesional melalui pendekatan pribadi; memecahkan konflik yang timbul antar anggota organisasi; mendengarkan segala keluhan-keluhan; memberikan umpan balik dan melaksanakan teknik oral persuasian. Di samping keahlian berkomunikasi, kepemimpinan dalam era globalisasi menuntut lima jenis ketrampilan khusus yang sifatnya sangat kritis. Sebagaimana diajukan oleh White, Hodgson dan Crainer (1997), ketrampilan tersebut terdiri dari:

1. Difficult learning

Proses belajar merupakan kunci mengatasi kegagalan dalam berorganisasi. Proses belajar yang rumit dan sulit biasanya menuntut kreativitas, dan sangat sedikti para pesaing yang ingin terjun mengikuti proses “difficult learning”. Dalam organisasi yang belajar, setiap anggota organisasi akan didorong untuk dapat mengidentifikasikan apa yang belum mereka ketahui dan segala sesuatu yang belum didapatkan cara pemecahnya.

2. Maximizing energy

Yang dimaksud di sini bukan berarti seorang eksekutif puncak harus bekerja keras sampai larut malam. Upaya memaksimalkan energi tentunya lebih dari sekedar memeras tenaga fisik dari seorang pemimpin. Ketrampilan pemimpin yang diinginkan pada organisasi masa depan adalah mereka yang dapat mengeluarkan keputusan bisnis secara bermutu. Dia harus memiliki dorongan kuat keluar dari status quo masa kini, atau dari suatu pemecahan yang sifatnya kompromistis. Hasil optimal harus senantiasa menjadi target keputusan-keputusan yang dikeluarkannya, dengan antara lain menciptakan pendekatan-pendekatan atau metode serta teknik yang sama sekali baru.

3. Resonant simplicity

Dalam era teknologi, informasi dan komunikasi yang efektif dan jelas merupakan suatu tuntutan. Dengan data dan informasi yang mudah didapat, maka keahlian untuk berpikir dan berlogika secara sederana akan merupakan keunggulan dalam arena persaingan yang semakin ketat. Mengolah fakta dan menyajikan informasi secara benar merupakan kunci sukses untuk berkomunikasi pada era globalisasi.

4. Multiple focus

Fokus dalam suatu kegiatan muncul begitu saja dari suatu rencana strategis. Kejelasan visi, tujuan, dan kegiatan dari core business biasanya didapat setelah melalui proses yang tidak terfokus atau datang dari focus yang saling bertentangan dalam suatu organisasi perusahaan. Dalam kerangka organisasi masa depan kemungkinankemungkinan ini sering sekali timbul. Kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan teknik persuasive dalam mempengaruhi anggota organisasi untuk dapat berpikir dan bertindak secara terfokus menurut agenda kegiatan mereka, sangat dituntut pada era masa depan.

5. Mastering inner sense

Seorang pemimpin yang professional harus juga terlatih menggunakan kemampuan inner sense yang dimiliki dalam membuat keputusan-keputusan bisnis. Dalam kondisi yang tidak menentu dan keputusan harus dikeluarkan dengan cepat, maka peran inner sense semakin penting. Dengan kekuatan inner sense ini, seorang pemimpin akan berani mengambil risiko menempuh jalan keluar dari segala aturan birokrasi yang berlaku di perusahaan.

PENUTUP

Dengan menggambarkan ciri-ciri dari seorang pemimpin yang berwatak visionary, maka diharapkan pemimpin puncak perusahaan dapat menjadi siap menghadapi permasalahan-permasalahan manajerial dari organisasi perusahaan pada abad 21. Profesionalisme dalam kepemimpinan organisasi masa depan tidak cukup didapat dari sekadar memiliki “charisma” maupun kemampuan menggunakan kekuasaan, tetapi harus juga lebih luas. Dia harus memiliki visi yang jelas dan kemampuan mempengaruhi para pelaku serta mengelola organisasi secara manusiawi dan berkompeten. Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan suatu factor yang menentukan atas berhasil-tidaknya suatu organisasi atau usaha, sebab kepemimpinan yang sukses menunjukkan bahwa pengelolaan suatu organisasi berhasil dilaksanakan dengan sukses pula. In berarti bahwa pimpinan harus berhasil dalam tiga hal:

1. Mampu mengantisipasi perubahan yang tiba-tiba dalam proses pengelolaan organisasi.

2. Berhasil mengoreksi kelemahan-kelemahan yang timbul.

3. Sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan. Jelas kiranya, bahwa mengelola suatu organisasi termasuk didalamnya mengelola sumber daya manusia, diperlukan sekali prinsip-prinsip atau teori-teori manajemen, termasuk prinsip dan teori kepemimpinan.


Kamis, 07 Mei 2009

Peran Perguruan Tinggi Dalam Pembangunan Ekonomi




Sebagian besar ekonom sepakat, sumber daya manusia dari suatu bangsa-bukan modal fisik atau sumber daya material-merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa bersangkutan (Todaro, 1997). Amich Alhumami mengungkapkan secara gamblang betapa kuatnya hubungan antara pendidikan dan pembangunan ekonomi (Kompas, 6/8/2004). Pendidikan sebagai medium bagi proses transmisi teknologi dianggap sebagai pendorong pembangunan ekonomi. Kesimpulan akhir artikel ini, secara implisit, menekankan pada pembenahan pendidikan tinggi dan meminta peran pemerintah yang lebih besar dalam alokasi pembiayaan pendidikan tinggi.

Sebetulnya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan saat kita berbicara tentang hubungan antara pendidikan dan pembangunan ekonomi. Pertama, kita harus melihat pendidikan sebagai suatu investasi pada modal manusia (human capital investment). Ketika kita berbicara tentang investasi, pertanyaan berikutnya adalah apakah investasi efektif dan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Biaya investasi dan hasilnya

Studi ekonomi yang membahas hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi pada awal dasawarsa 1960-an memengaruhi banyak pembuat keputusan di negara-negara berkembang (NSB) untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran ke bidang pendidikan. Tetapi studi-studi ini juga telah menciptakan "mitos" di tengah masyarakat kita tentang pendidikan formal.

Percepatan dan pemerataan penyediaan pendidikan formal secara kuantitatif kerap diartikan sebagai kunci kesuksesan pembangunan ekonomi, mitos seperti inilah yang berkembang selama ini. Kecenderungan lain yang muncul di NSB, termasuk di Indonesia, antara lain pendidikan lebih dinilai sebagai status sosial ketimbang produktivitas. Masyarakat, termasuk pasar tenaga kerja, cenderung mengharapkan ijazah pendidikan lebih tinggi. Kecenderungan ini yang mendorong meningkatnya permintaan akan jenjang pendidikan tinggi (Todaro, 1997).
Studi Psacharopoulus (1972) mengenai pembiayaan pendidikan memaparkan hal yang amat mengagetkan, di mana di NSB rata-rata biaya seorang mahasiswa setara dengan 88 kali biaya seorang siswa SD. Kenyataan ini berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Selandia Baru yang perbandingannya mencapai 17,6. Sayang, tingginya biaya pendidikan tinggi di NSB tidak diikuti secara proporsional pendapatan yang diperoleh dari seseorang lulusan perguruan tinggi (PT).

Dengan studi yang sama ditemukan, seorang pekerja lulusan sarjana menerima pendapatan sekitar 6,4 kali pekerja lulusan SD. Meski biaya pendidikan tinggi di NSB terlihat amat mahal, hal ini tidak serta-merta dapat diartikan pemerintah perlu memberi subsidi kepada pendidikan tinggi. Sebaliknya kesenjangan yang lebar antara biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diperoleh menunjukkan adanya misalokasi sumber daya (investasi). Kondisi Indonesia tahun 2003 tidak sekontras itu. Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2003 ditemukan, seorang pekerja lulusan PT memiliki pendapatan tiga kali lipat dibanding lulusan SD. Sementara itu biaya bagi seorang mahasiswa mencapai 11 kali dibanding biaya yang dikeluarkan seorang siswa SD.

Manfaat sosial dan individu
Ikutnya dana publik (social cost) ke dalam pembiayaan pendidikan menjadikan keuntungan sosial (social benefit) layak dipertimbangkan sebagai tolok ukur efektivitas investasi modal manusia. Dengan kata lain, subsidi pendidikan kepada seorang siswa (mahasiswa) semestinya bernilai secara efektif untuk masyarakat. Selain manfaat sosial, pendidikan juga memberi manfaat individu (private benefit) melalui pendapatan atau akses kepada pekerjaan yang layak. Dalam ekonomi pendidikan, kedua manfaat itu selalu dijadikan tolok ukur tentang pengaruh pendidikan terhadap nilai ekonomis, termasuk pembangunan ekonomi.

Psacharopoulos dan Patrinos (2002) menemukan, investasi pendidikan tinggi di Indonesia tahun 1986 memiliki nilai manfaat sosial sebesar 5 persen. Nilai ini lebih rendah ketimbang manfaat sosial dari pendidikan menengah yang mencapai 11 persen. Sayang studi ini tidak mengungkapkan manfaat individu yang diperoleh. Tetapi mengamati kecenderungan yang terjadi di NSB, kemungkinan besar manfaat individu dari pendidikan tinggi lebih tinggi dibanding jenjang pendidikan lain.

Dengan metode serupa, saya mengalkulasikan nilai manfaat itu untuk tahun 2003 dan dari data Susenas BPS 2003 ditemukan, nilai manfaat sosial untuk pendidikan tinggi sebesar 5,46 persen dan nilai manfaat individu sebesar 18,2 persen. Perlu dicatat, kedua manfaat itu dibandingkan terhadap sekolah menengah.

Apa yang bisa ditangkap
Dari studi terbaru terlihat, nilai manfaat sosial pendidikan tinggi cenderung meningkat, meski dengan pertumbuhan relatif lambat, yaitu sebesar 0,46 persen. Secara teoretis ada dua hal yang dapat diinterpretasikan dari peningkatan nilai manfaat ini.

Pertama, peningkatan nilai manfaat disebabkan penawaran pendidikan tinggi (supply of higher education) masih belum mencapai titik jenuh, sehingga setiap unit peningkatan penawaran masih memberi return yang positif (belum mencapai excess supply).

Kedua, terjadinya perubahan strutur ekonomi dan tenaga kerja di mana permintaan akan tenaga kerja lulusan PT kian besar yang mendorong lulusan kelompok ini menerima tingkat upah di atas tingkat upah yang kompetitif. Tingkat upah yang tinggi tentu akan memperbesar sumbangan pada negara melalui pajak dan ini mendorong meningkatnya manfaat sosial.

Meski nilai manfaat sosial dari investasi pendidikan tinggi cenderung tumbuh, meminta porsi lebih besar lagi dana publik tampaknya perlu dinilai lebih hati-hati. Isu sentral di sini terkait keterbatasan pembiayaan publik ditambah biaya yang harus dikeluarkan untuk pendidikan tinggi yang umumnya cukup besar. Temuan empiris Duflo (2001) menunjukkan, kebijakan pendidikan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Meski begitu, temuan ini tidak lantas menyimpulkan, peningkatan mutu PT tidak penting sama sekali. Meski demikian, pemerintah harus mencari alternatif kebijakan lain selain pembiayaan langsung, seperti subsidi maupun bantuan keuangan lain, yang lebih efektif dalam meningkatkan kualitas. Selain itu, tuntutan kualitas tentu akan lebih banyak dialamatkan kepada institusi PT itu sendiri.

Lantas apa yang bisa dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan kendala minimnya dana subsidi pemerintah? Tentu masih banyak peluang. Dilihat dari indikator manfaat yang cukup tinggi, baik sosial maupun individual, terlihat institusi pendidikan tinggi dalam waktu ke depan masih merupakan "ïndustri" pendidikan dengan tingkat permintaan cukup tinggi, baik oleh masyarakat maupun pasar tenaga kerja. Dalam hal ini penulis sepakat dengan pendapat Alhumami, institusi pendidikan tinggi perlu terintegrasi dengan kalangan usaha dan industri.

Integrasi ini dapat dimaksudkan untuk mendapatkan pembiayaan operasional maupun meningkatkan mutu pendidikan tinggi sendiri, seperti melalui riset maupun kerja sama PT dengan kalangan usaha. Integrasi ini juga akan mendorong PT untuk memiliki daya kompetisi, di mana dengan kompetisi, PT dituntut untuk selalu meningkatkan mutu dan kualitasnya.